Jumat, 05 Februari 2016

Gara-gara Patah Hati

              Beberapa bulan yang lalu gue hampir nikah sama seorang cowok yang belum lama gue kenal,doi baik, smart, secara fisik tipe gue banget. Kita nyaris nikah, sayangnya nggak dapet restu. Ya sudah, gue patah hati berat, tapi gue bersyukur juga sih, karena sejak saat itu gue mencari pelarian dan gue menemukan cara untuk melarikan diri atau mengalihkan pikiran gue dari masalah itu. Gue dapat kerja di salah satu penerbit buku. Gue mulai nulis, saat itu yang gue tulis adalah cerita humor, entah lucu atau nggak yang jelas gue senang bisa nulis, setidaknya gue memang suka nulis sejak dulu (nulis status) hehehehe. Gue suk nulis, orientasi gue nulis bukan untuk uang, melainkan untuk pengalihan dan memang gue suka, gue menikmati itu. Akhirnya 1 bulan setelah nulis gue dapat uang, rasanya senang banget. Setelah itu gue nulis buku kedua gue, yaitu buku belajar bahasa Jepang. Gue kuliah di jurusan bhasa Jepang, makanya nggak heran kalau tim redaksi penerbit percaya sama gue. Tapi sayangnya gue agak mengecewakan,  gue telat nyelesain naskah itu, secara gue salah jurusan, gue pusing banget nulisnya. Whatever itu salah gue, dasar emang nggak konsisten aja, salah jurusan bukan alasan. Seharusnya begitu. Tapi nggak apa-apa insha Alloh minggu ini naskahnya selesai. Menulis kedua ini gue lakukan dengan orientasi uang karena kebetulan gue lagi butuh banget uang.
                Lanjut, ngomong-ngomong soal patah hati dan akibatnya, entah kenapa sekarang gue jadi males sama cowok, di mata gue semua cowok itu sama aja. Mungkin opini gue ini bertentangan dengan faktanya, tapi ya gimana lagi, namanya juga opini, opini yang 100% berdasarkan hati bukan logika, heheheh. Sejak gue mau nikah dan nggak direstuin rasanya gue jadi trauma dengan kata calon mertua, apalagi kalau beliau adalah orang kaya. Bahkan gue sempat berpikir sebaiknya gue dekat dengan cowok yang biasa ajalah, meskipun gue cinta tapi kalau doi kaya gue jadi malas, takut ditolak cyin, hehehehe. Tapi y sudahlah, udah takdir gue. Belakangan ini gue berkomunikasi lagi dengan cowok yang gue suka semasa SMA, jujur gue baper (bawa perasaan) banget. Tapi sudahlah, namanya juga mantan, untuk apa dibawa perasaan, cukup berteman saja. Selain mantan zaman SMA, teman lama gue juga sekarang tiba-tiba muncul dan ya "gitu" deh. Cara dia cukup so sweet tapi entah kenapa gue biasa aja, nyaris ill feel malah. Sejak SMA, hidup di pesantren sampai saat ini gue memang nggak mau pacaran, paling cumamdekat, suka, ya gitu deh, dibilang ta'aruf bukan juga. Yaa gitu deh.
                   Entah kenapa sekarang gue malas bgt untuk ber-ta'aruf, berkomitmen, dan sebagainya. Gue takut kecewa lagi. Mungkin tahun ini gue mau fokus dulu dengan kuliah gue, soal jodoh mah 2017 aja. Tapi ya nggak tahu juga deh. Terserah Tuhan aja. Gue jadi takut kalau gue nggak bisa lagi suka dengan cowok. Bukan berarti lesbong ya, hanya sekedar trauma yang berakibat pada mati rasa. Entah kapan gue bisa jatuh cinta lagi, guepun pasrah seandainya jodoh gue kelak bukanlah orang yang gue cintai. Tsaaah, apa banget lah.

Selasa, 26 Januari 2016

KAPAN NIKAH?

             Pada saat usia gue 20 tahun kata-kata "kapan nikah" terdengar biasa di telinga gue. Gue nggak alergi, sensitif atau jadi baper (bawa perasaan). Tapi entah kenapa di usia 22 tahun ini pertanyaan "kapan nikah" seolah menjadi penjajah terkejam yang menghantui dan menjajah kehidupan gue. Bahkan saking ngerinya dengan pertanyaan KAPAN NIKAH itu gue sampai malas banget datang ke rumah kakak kandung gue yang tetangganya suka pada nanyain, "Kapan nikah?" Selain itu gue juga jadi malas untuk menghadiri acara kumpul keluarga. Sebenarnya sih kalu dipikir-pikir kenapa jugague harus risih, taku, dan merasa terjajah dengan pertanyaan SEDERHANA itu, toh apa ruginya dan dampaknya di hidup atau masa depan gue? Nggak ada kan.
            Lama kelamaan saking seringnya gue mendapatkan pertanyaan KAPAN NIKAH gue jadi kebal, dan di usia 22 memasuki usia 23 ini gue jadi biasa saja dengan pertanyaan kapan nikah. Selain itu gue juga sering membaca artikel tentang pernikahan, pertanyaan kapan nikah dan cara menyikapinya, kata-kata bijak tentang jodoh, dan sebagainya. Semu itu membantu banget sehingga saat ini alhamdulillah gue udah kebal dan nggak merasa terjajah ataupun baper (bawa perasaan) lagi dengan pertanyaan itu. Sebaliknya, gue malah jadi takut nikah. Eh bukan takut nikah juga sih, lebih tepatnya takut untuk jatuh cinta/ "mengenal" laki-laki. Beberapa bulan yang lalu gue patah hati berat karena nggak jadi nikah dengan orang yang gue sayang banget, namanya niit sensor. Hubungan kita kandas karena restu orang tua, dia nggak salah, orang tuanya nggak salah, dan nyokap gue nggak salah, nggak ada yang salah, hanya saja Tuhan belum mengizinkan gue dan dia untuk menikah. Gue masih trauma sampai saat ini, dan cenderung mati rasa dengan kata-kata pernikahan. Whatever  gue bersyukur karena rasa terjajah gue akan pertanyaan "Kapan nikah" itu sekarang sudah musnah, jadi nggak ada lagi yang perlu gue takuti. Gue percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan seseorang yang baik dan memang lebih klik apabila bersanding dengan gue kelak. Tsaaahh bahasanya.. Ahentahlah, gue laper, gue baper, gue lelah

SEKIAN

CARI KERJA

     Sekarang ini gue lagi liburan tapi nggak pulang. Kenapa? Karena gue pengen nyari kerja, rencananya sih gue bakalan kerja entah itu part time/ full time yang jelas dengan pendapatan yang sesuai dengan ekspektasi gue. Gue pengin punya tabungan yang banyak sebelum gue lulus dan untuk menebus kesalahan gue sama nyokap. Gue cukup tahu diri sebagai anak dari seorang single parent nggak seharusnya gue kuliah dengan model yang "seperti ini" sehingga mau nggak mau harus molor satu semester (semoga 1 semester beneran)nggak lebih, aamiin. That's why itulah alasan kenapa gue harus kerja, supaya bisa bayar kos pakai uang gue sendiri dan kalau ada kebutuhan mendadak gue nggak perlu minta nyokap.
      Setelah melamar beberapa perusahaan tenrnyata cari kerja itu susah-susah gampang ya. Dibilang gampang ya susah juga, karena status gue masih mahasiswa yang harus kuliah JUGA. Mencari pekerjaan yang mau bersahabat dengan jadwal kuliah gue itu cukup susah juga. Sebenarnya kalau hanya bekerja sebagai penjaga toko/ pramuniaga aja sih nggak susah nyarinya, tapi kan gue mau pekerjaan yang selain bayarannya sesuai ekspektasi, gue juga bisa belajar sesuatu, misalnya belajar tentang manajemen kantor, keterampilan berbahasa, dan sebagainya. Targetnya sih gue bisa dapat pekerjaan yang kalau gue cantumkan di CV itu cukup menjual. Secara IPK gue kan imut-imut, jadi kalau gue nggak punya pengalaman kerja ya susah juga. Begitu.
      Sampai detik ini gue masih berjuang mencari kerja yang "bagus" dan bisa mentoleransi status gue sebagai mahasiswa. Kemarin sih gue dapat panggilan kerja dan ikut tes, entahlah apa hasilnya. Gue sudah pasrah, semoga diterima. Aaamiin.
     

Jumat, 15 Januari 2016

Hidup Tanpa Smartphone

                  Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa smartphone menjadi salah satu hal terpenting yang harus dibawa oleh seseorang ke manapun ia pergi. Entah itu ke ruang makan, ruang nonton TV, kampus, warung makan, mall, salon, bahkan ada juga yang membawa smartphone saat ke kamar mandi. Hal ini menimblkan dampak negatif, di antaranya adalah saat berkumpul dengan keluarga atau teman, orang yang memegang smartphone justeru lebih banyak memandang layar HP ketibmang orang di sekitarnya. Pengalaman pribadi aja nih ya, beberapa bulan yang lalu smartphone gue hilang, mau nggak mau gue pakei HP Cina yang cuma bisa SMS, nelpon, dan ngidupin alarm yang suaranya cetar banget. Awalnya sih gue sedih banget smartphone gue hilang. Kenapa? Karena sejak perstiwa kehilangan itu gue jadi sering cengo, apalagi kalau pas kumpul bareng teman-teman yang semuanya pegang gadget/smartphone. Gue berasa jadi obat nyamuk, bahkan jadi bakteri yang sama sekali tak dianggap. Yah, gue sih maklum aja, toh dulu semasa gue pegang smartphone juga gue kayak mereka yang rasanya gue bakalan mati kalau lima menit aja nggak menghadap ke layar smartphone. Tapi sebulan kemudian gue mulai terbiasa dengan hidup tanpa smartphone. Gue mulai mencari cara supaya gue nggak cengo ketika sedang kumpul bersama orang-orang yang maniak gadget. Salah satu cara gue adalah dengan membawa novel ke manapun gue pergi, entah itu ke salon, mall, bank, dan kampus. Jdi setidaknya saat orang-orang di sekeliling gue sibuk dengan gadgetnya gue jadi nggak cengo, gue baca novel aja, meskipun itu juga novel pinjaman.

                      Pada akhirnya gue justeru lebih suka hidup tanpa smartphone. Hidup gue jadi lebih tenang, kehidupan sosial gue ya biasa aja sih, tapi setidaknya sekarang kalau ke tempat asing sendirian dan gue diharuskan untuk menunggu atau mengantri, gue biasanya ngajak orang di dekat gue ntuk ngobrol (bukan modus). Ini cara gue supaya gue nggak cengo. Bahkan pernah suatu hari, gue beli makan di dekat kosan, pada saat itu gue harus ngantri cukup lama. Karena merasa bosan akhirnya gue ajakin aja Ibu-Ibu di samping gue untuk ngobrol, dan alhasil gue ditraktir, kan lumayan. Selain itu, sejak nggak ada gadget gue udah nggak pernah lagi kontekan dengan mantan gue, nggak suka stalking mantan lagi, dll. Intinya banyak kebakan yang gue dapatkan semenjak smartphone gue hilang. Tapi itu bukan berarti gue nggak pengen beli lagi, yang jelas gue mau beli lagi tapi nggak sekarng, nggak punya duit Bro! Mungkin gue harus nabung dulu. Karena di zaman sekarang ini mau nggak mau ya kita harus punya smartphone karena apabila kita nggak punya smartphone kita bakalan sering ketinggalan informasi. Tapi untungnya sahabat gue baik-baik, mereka tetap rajin SMSin gue di saat ada informasi terkait masalah kuliah, tugas, dsb. Thanks guys!